MAKNA SPIRITUALITAS PADA PENGANUT AJARAN SAMIN
Abstrak
Masyarakat Samin merupakan masyarakat yang unik. Ajaran Samin awalnya merupakan gerakan
moral yang kemudian berkembang menjadi gerakan kultural dan bahkan menggulirkan keyakinan
tersendiri. Tujuan utama penelitian ini adalah memahami makna spiritualitas pada penganut ajaran
Samin. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis. Pemilihan subjek menggunakan teknik snowball sampling yang berasal dari desa
Klopodhuwur, Blora. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Interpretative
Phenomenological Analysis (IPA). IPA merupakan metode sistematis yang berfokus pada makna
yang diperoleh subjek terhadap pengalamannya. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara.
Peneliti menemukan bahwa proses pemaknaan subjek terhadap spiritualitas ajaran Samin terdiri
dari : (1) Sejarah dan ajaran masyarakat Samin, (2) Wujud spiritualitas, (3) Penghayatan
spritualitas. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa penganut ajaran Samin masih
melaksanakan aktivitas sesuai keyakinan yang diturunkan secara turun temurun karena setiap
aktivitas tersebut memiliki makna yang dapat memberi petunjuk dan mengarahkan mereka untuk
selalu berbuat kebaikan dan menjaga kerukunan selama hidup.
Kata kunci: Spiritualitas; Ajaran Samin;
PENDAHULUAN
Indonesia adalah suatu negara yang terdiri dari ribuan pulau dan memiliki keanekaragaman budaya
yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Namun keberagaman itu tetaplah menjadi satu
yaitu Bhineka Tunggal Ika. Kebudayaan merupakan serangkaian model kognitif yang dimiliki oleh
manusia dan digunakan dalam menghadapi lingkungan yang terwujud dalam tingkah laku dan
tindakan dalam kehidupan bermasyarakat.
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, arus globalisasi
menyebar kesegala penjuru dunia memberikan banyak dampak. Pengaruh tersebut meliputi dua
sisi yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya yaitu pada kemajuan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dapat dimanfaatkan, sedangkan dampak negatif yang
mempengaruhi seperti hilangnya budaya asli suatu daerah, terjadinya erosi nilai-nilai budaya,
menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme, hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong,
kehilangan kepercayaan diri, dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan aspek kehidupan bangsa
Indonesia. Persoalan lain yang tak terelakkan dari dampak globalisasi yaitu pada masalah
eksistensi kebudayaan daerah, salah satunya adalah terjadinya penurunan rasa cinta terhadap
kebudayaan yang merupakan jati diri suatu bangsa, erosi nilai-nilai budaya, dan terjadinya
akulturasi budaya yang selanjutnya berkembang menjadi budaya massa.
Indonesia memiliki beberapa budaya yang masih kuat akan eksistensinya dan masih dilestarikan,
salah satunya adalah budaya pada masyarakat Samin. Perubahan akibat globalisasi belum terlihat
pada masyarakat Samin secara keseluruhan. Samin atau Wong Samin adalah satu kelompok orang
Jawa yang menganut suatu pandangan hidup (world view) yang mengandung suatu sistem nilai
tertentu (Melalatoa, 1995). Secara historis, masyarakat Samin muncul setelah adanya seorang
keturunan bangsawan dari Bojonegoro yang bernama Raden Kohar yang mengubah namanya
menjadi Samin Surosentiko. Namanya diubah menjadi “Samin” karena dianggap nama tersebut
lebih bernafaskan kerakyatan. Samin, Saminisme, dan masyarakat Samin adalah fenomena yang
unik, antara lain: Saminisme pertama kali muncul sebagai aksi moral yang dilakukan oleh Ki
Samin Surosentiko dalam melawan pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian pada tahun 1905, Ki
Samin mulai mengajak warga untuk mengikuti beberapa prinsipnya seperti menolak memberikan
sumbangan untuk lumbung desa yang dikelola oleh pemerintah kolonial, menolak menggembala
ternak bersama-sama, dan menolak membayar pajak (Aziz, 2012). Ciri utama gerakan Samin
adalah perlawanan tanpa kekerasan dan penggunaan logika dan rethorika nggendeng atau purapura gila atau aneh dalam setiap perlawanan.
Pengikut Samin yang tersebar dari gerakan moral kemudian berkembang menjadi gerakan
kulturual dan bahkan tak dapat dipungkiri Samin telah berhasil menggulirkan ideologi baru yang
khas Samin yakni Saminisme atau bahkan “agama” baru yang mereka namakan Agama Adam
(Abdul Wahib, 2012). Agama yang dianut oleh masyarakat Samin merupakan agama bumi
(natural religion) yang lahir dari filsafat masyarakat yaitu berasal dari pemimpin.
Pengikut Samin menganggap agama Adam yang membedakannya dengan (kelompok) Islam,
Budha, dan lainnya dan menganggap agama Adam sebagai lorong menuju spiritualitas agama iku
gaman, gaman lanang, adam pangucape (Agama itu sebagai pegangan hidup, namanya agama
adam yang bisa menjadi senjata dalam kehidupan) (dalam Ismail, 2016). Spiritualitas didefinisikan
sebagai proses pencarian makna, tujuan, moralitas, kesejahteraan dalam hubungan dengan diri
sendiri, orang lain, dan realitas yang hakiki (Amir & Lesmawati, 2016). Dalam ajaran agama
Adam disyariatkan ibadah dalam bentuk doa (semedi) dan puasa.
Seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Samin yang memiliki berbagai macam keunikan
ternyata juga mengalami perubahan dari beberapa sisi. Baik dan sisi agama, mata pencaharian,
perkawinan dan sebagainya. Semua perubahan yang dialami tidak terlepas dari faktor internal
maupun eksternal yang mempengaruhinya. Faktor internal lebih disebabkan oleh adanya
keinginan dari masyarakat Samin sendiri. Sementara faktor eksternal lebih banyak berupa
pengaruh dari luar masyarakat Samin.
Berdasarkan uraian diatas dijelaskan bahwa hingga saat ini masyarakat Samin masih memegang
ajaran-ajaran yang dianggap penting sehingga harus tetap dipertahankan, meski dalam praktiknya
mengalami perubahan. Praktik keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Samin pada dasarnya
memiliki makna-makna tertentu sehingga peneliti ingin memperoleh gambaran mengenai makna
spiritualitas pada penganut ajaran Samin. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode fenomenologi agar peneliti dapat peneliti dapat memahami berbagai pengalaman penganut
ajaran Samin secara langsung yang dipandang dari sisi psikologi.
METODE
Pada penelitian ini, peneliti ingin memahami makna spiritualitas penganut ajaran Samin yang
dipandang dari sisi psikologi. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Subjek dalam penelitian ini berjumlah tiga orang yang diambil dengan teknik
snowball sampling berdasarkan karakteristik khusus yang telah ditetapkan. Karakteristik subjek
yang ditetapkan peneliti dalam penelitian ini meliputi: (1) Mengetahui dan memahami ajaran
Samin, (2) Mengamalkan ajaran Samin, (3) Berdomisili di daerah Klopoduwur, Blora, (4) Bersedia
menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent. Pemilihan subjek dalam
penelitian ini didasarkan pada ketersediaan di lapangan. Teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian yaitu metode dan prosedur yang sesuai dengan interpretative phenomenological
analysis (IPA) untuk mengeksplorasi persepsi dari tiap subjek serta memaknai secara detail
tentang makna dalam memaknai dunia personal dan sosial (Smith, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk dapat memahami pokok makna subjek terkait dengan spiritualitas masyarakat Samin
peneliti melakukan beberapa tahap analisis sesuai dengan prosedur IPA (Interpretative
Phenomenological Analysis). Peneliti berusaha menemukan tema-tema emergen untuk
mendapatkan tema-tema induk dari ketiga subjek.
Table 1.
Table tema induk dan tema super-ordinat
No Tema Induk Tema Super-ordinat
1 Sejarah dan ajaran masyarakat Samin Sejarah Samin
Masyarakat Samin dan ajarannya
2 Wujud spiritualitas
Aktivitas keagamaan
Hubungan dengan lingkungan
Pandangan mengenai perbedaan
Hubungan dengan Tuhan 3 Penghayatan spiritualitas
Makna melaksanakan aktivitas
keagamaan
Pengalaman spiritualitas
Kepercayaan subjek
Penelitian ini berfokus pada tiga tema induk yaitu (1) sejarah dan ajaran masyarakat Samin, (2)
wujud spiritualitas, dan (3) penghayatan spiritualitas yang akan dibahas menggunakan teori
psikologi yang disertai dengan hasil wawancara.
Sejarah dan ajaran masyarakat samin: Sejarah asal-usul disebutnya Samin yaitu ketika
penjajahan Belanda masyarakat mengatakan “oiya sami-sami” sedangkan Belanda menirukannya
“oiya samin-samin”, yang kemudian dipersingkat menjadi Samin sehingga pengikutnya disebutlah
masyarakat Samin. Tokoh Samin adalah Samin Surasentiko yang lahir di Plesendiran,
Randublatung. Samin Surasentiko menyebarkan ajarannya pertama kali di daerah Klopodhuwur,
Blora. Ciri utama gerakan Samin dalam menolak penjajahan adalah perlawanan tanpa
menggunakan senjata. Perlawanan tersebut muncul atas dasar perasaan tidak puas dalam diri
masyarakat Samin pada khususnya Samin Surasentiko yang membebankan penduduk untuk
membayar pajak, menyerahkan hasil pertanian. Namun jika masyarakat Samin melawan
menggunakan senjata tidaklah berhasil karena Belanda memiliki senjata lebih canggih, sehingga
masyarakat Samin melawan menggunakan permainan bahasa.
Ajaran Samin merupakan ajaran yang apa adanya. Pada dasarnya ajaran tersebut yaitu berupa
pantangan untuk tidak drengki (iri), srei (serakah), panasten (mudah tersinggung atau membenci
sesama) kepada orang siapa saja, yang menjadi kepentingan utama ajaran samin yaitu kerukunan.
Pantangan untuk tidak drengki (iri) dicontohkan oleh subjek MT seperti tidak menghiraukan dan
memiliki keinginan memiliki apa yang dimiliki orang lain karena rejeki sudah diatur oleh Tuhan
dan dalam porsinya masing-masing. Pantangan yang kedua yaitu untuk tidak srei (serakah),
maksud ajaran ini seperti tidak boleh mengaku memiliki barang orang lain atau yang bukan
miliknya. Sedangkan panasten (mudah tersinggung atau membenci sesama) dicontohkan seperti
tidak boleh menghiraukan perkataan orang lain atau membicarakan orang lain, karena bukan
urusannya. Semua hal yang menjadi pantangan dalam masyarakat Samin ditujukan agar
terciptanya kerukunan antar sesama.
Pengaruh globalisasi yang masuk ke Indonesia memberikan beberapa dampak pada ajaran
tradisional asli Indonesia. Dampak terhadap ajaran Samin terlihat pada pendidikan, praktik
keagamaan, dan juga dalam menghadapi kematian. Pada zaman penjajahan Belanda, masyarakat
Samin tidak diperbolehkan sekolah karena jika bersekolah maka kelak setelah lulus kemungkinan
bisa menjadi pengikut Belanda. Sehingga pantang bagi masyarakat Samin untuk bersekolah dan
mengikuti aturan Belanda. Masyarakat Samin memiliki keyakinan bahwa yang boleh menguasai
diri sendiri adalah “guru” yang ada dalam diri sendiri, bukan Belanda. Guru yang ada dalam diri
sendiri yaitu saudara yang lahir di hari yang sama dan di jam yang sama yang sebenarnya
mengajarkan dan memberi pengarahan dalam hidup. Setelah masa penjajahan berakhir dan
kekuasaan berada di tangan Indonesia, anak-anak masyarakat Samin mulai bersekolah karena tidak
melanggar aturan negara merupakan salah satu pedoman hidup masyarakat Samin.
Ajaran lain yang mulai berubah yaitu mengenai agama yang di anut. Seperti yang dijelaskan MO
pada awalnya masyarakat Samin menganut agama Budha. Menurut sejarah yang dipercaya kata
Budha berasal dari kata udo (tidak memakai baju). Makna dari kata udo (tidak memakai baju) yaitu
apabila orang tua udo (tidak memakai baju) maka akan lahir diri ini. Masyarakat Samin menyatakan awalnya beragama Budha sebagai tanda memaknai kelahiran. Masyarakat Samin
meyakini bahwa orang tua adalah Tuhan yang berwujud karena orangtualah yang melahirkan dan
orang pertama yang mengajarkan apa saja untuk hidup di dunia.
Setelah merdeka masyarakat
Samin menerima Islam sebagai agamanya karena perintah dari pemerintah. Aturan tersebut untuk
memperjelas status agamanya dan menghindari anggapan bahwa masyarakat Samin merupakan
anggota dari PKI. Keadaan itulah yang mengakibatkan seluruh masyarakat Samin mengaku
menganut agama Islam. Berbagai macam kegiatan keagamaan menurut ajaran agama Islam.
Kegiatan tersebut antara lain : pengajian bagi ibu-ibu, kegiatan mengaji bagi anak-anak dan
kegiatan tersebut ditunjang adanya mushola yang berdiri di tengah pemukiman masyarakat Samin.
Namun, sebagian masyarakat Samin tidak mengikuti kegiatan keagamaan menurut tata cara agama
Islam pada umumnya. Terjadi perbedaan praktik keagamaan antara laki-laki dan perempuan.
Subjek MO dan MT masih melaksanakan kegiatan keagamaan sesuai yang diajarkan tokoh
terdahulu yaitu shalat sebanyak tiga kali yang dilakukan pada pagi hari pukul 06.00 terbitnya
matahari, siang hari pukul 12.00, dan malam pukul 18.00 saat terbenamnya matahari. Arah shalat
yang dilakukan masyarakat Samin yaitu ke timur. Pagi hari saat terbit matahari dapat memberikan
petunjuk hari apa saat ini. Mereka juga melakukan semedi yang dilaksanakan pada tengah malam
pukul 24.00 untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
Pergeseran tradisi juga terjadi terkait dengan adanya kematian, masyarakat Samin memahami
konsep kematian dengan istilah salin sandhangan. MI menjelaskan pada saat ini mereka sudah
mengikuti ajaran tradisi Islam seperti menyolati orang meninggal dan datang ke rumah orang
meninggal dengan membawa beberapa bahan makanan sebagai ungkapan bela sungkawa. Salin
sandhangan merupakan istilah dari meninggal. Subjek MO menjelaskan bahwa orang yang salin
sandhangan memiliki makna setelah meninggal rohnya akan dititipkan pada bayi yang baru lahir.
Jadi, roh tersebut tidak mati, tetapi berkumpul dengan roh yang masih hidup. Maka ajaran Samin
memerintahkan agar selalu berbuat baik selama hidup, agar selamanya akan menjadi orang baik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat Samin menganggap bahwa semua manusia adalah
saudara. Pokok-pokok ajaran Samin antara lain: tidak menjelek-jelekkan orang lain, ikut campur
dalam urusan orang lain, tidak mengambil milik orang lain, dan membicarakan orang lain. Hal
utama yang menjadi tujuan dari hidup dalam ajaran Samin adalah menjaga kerukunan. Ajaran
Samin tersebut merupakan pedoman bersikap dan bertingkah laku.
Wujud spiritualitas: Wujud spiritualitas pada setiap individu dapat dilihat melalui kegiatan
keagamaan yang dilakukan subjek dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas keagamaan ini
menunjukkan kepatuhan subjek yang termuat dalam ajaran agamanya. Aktivitas tersebut seperti
melakukan shalat, belajar mengaji, dan berpuasa.
Suatu hal yang berbeda pada MO dan MT. Walaupun mengaku sudah menganut agama Islam,
namun mereka masih melaksanakan aktivitas keagamaan yang diturunkan secara turun temurun.
Aktivitas keagamaan tersebut seperti berpuasa dan shalat. Masyarakat Samin melakukan puasa
ngrowot dan deder. Puasa ngrowot yaitu puasa yang tidak memakan nasi tetapi hanya makan buahbuahan, ubi-ubian. Hal ini dilakukan sebagai penebus dan wujud bakti kepada ibu ketika
mengandung selama 9 bulan 10 hari dan melahirkan. Sedangkan puasa deder yaitu puasa
semalaman tidak duduk yang dilakukan sebanyak tujuh kali pada hari Selasa dan tujuh kali pada
hari Jumat dengan maksud menebus laku (perjalanan spiritual) dan wujud bakti kita kepada orang
tua.
Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosial-spiritual. Sebagai makhluk biologis yang terdiri dari selsel yang membentuk organ-organ, ia akan berkembang menjadi makhluk organismik yang
mempunyai ciri-ciri tertentu. Sebagai makhluk spiritual, manusia tidak hanya berhubungan dengan
orang lain dalam system masyarakat atau dunia, tetapi juga berhubungan dengan sang pencipta.
Salah satu upaya untuk mendapatkan keseimbangan dalam menjalani kehidupan adalah melakukan
shalat atau samadhi (Jaenudin, 2012). Sebagai makhluk biologi, manusia dibedakan menjadi dua
yaitu yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk psikologi, manusia
memiliki jiwa yang tidak nampak tetapi dapat dilihat melalui keadaan-keadaan yang dapat
dipandang sebagai gejala-gejala kehidupan kejiwaan, misalnya orang yang diam kemudian pergi,
bisa diartikan sebagai marah. Masyarakat Samin mengajarkan untuk berbuat sabar, sehingga
apabila merasa marah seperti subjek MO maka lebih baik diam dan menenangkan diri meminta
agar diberi kesabaran. Sedangkan sebagai makluk sosial, manusia memiliki motif untuk
mengadakan hubungan dan hidup bersama orang lain. Upaya menjalin hubungan baik dengan
lingkungan masyarakat dilakukan oleh ketiga subjek. Mereka menganggap bahwa semuanya
adalah saudara. Subjek MO yang menjadi tokoh Samin yang di Klopodhuwur saat ini selalu
membantu memberikan solusi dan menjadi penengah ketika terjadi suatu masalah. Bentuk
spiritualitas yang lain yang dilakukan oleh ketiga subjek yaitu berusaha menjaga kerukunan dan
tidak saling menyakiti sesuai ajaran Samin yang ada. Salah satu karateristik seseorang yang telah
mencapai aktualisasi diri adalah memiliki hubungan interpersonal yang kuat, mereka mempunyai
kecenderungan untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (Jess & Gregory, 2014).
Penghayatan spiritualitas: Pengalaman-pengalaman melakukan kegiatan keagamaan yang
dilakukan berkaitan dengan persepsi-persepsi dan perasaan-perasaan yang dialami oleh ketiga
subjek. Esensi spiritualitas adalah keterhubungan, yaitu keterhubungan diri dengan Tuhan, dengan
sesama manusia, dan alam semesta. Pengalaman spiritual yaitu hal yang dialami seseorang dalam
benak pemikirannya yang terjadi di bawah alam sadarnya atas jauh dari kenyataan sebenarnya. Hal
tersebut sebagi tanda bahwa orang tersebut telah berhalusinasi dengan sempurna sehingga Sang
Pencipta membuat dirinya melakukan pertemuan spiritualnya (Jaenudin, 2012).
Setiap manusia yang hidup di dunia pasti mempunyai tujuan hidup. Jika seseorang telah
mengetahui apa yang menjadi tujuan hidupnya, maka akan lebih mudah dalam memaknai hidup,
sehingga setiap perbuatan, perilaku dan ucapannya mencerminkan bagaimana pemaknaannya
terhadap tujuan hidup yang dipilihnya (Jalaluddin, 2016). Ketiga subjek menemukan makna
hidupnya melalui ajaran Samin yang menjadikan ajaran Samin sebagai pedoman dalam hidup.
Ajaran Samin memberikan esensi spiritualitas dengan keterhubungan, yaitu keterhubungan diri
dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan alam semesta. Masyarakat Samin percaya bahwa
Tuhan selalu mewujudkan apa yang diinginkan melalui kegiatan keagamaan yang telah dilakukan.
Terbukti adanya pengalaman pada subjek yang mendapatkan keselamatan, kelancaran rejeki, dan
keinginan pribadi lainnya. Ajaran Samin menegaskan bahwa agama yaitu ageman, maksudnya
adalah agama menjadi pegangan hidup yang tercermin dalam prinsip ajaran dan pandangan
(Ismail, 2012). Masyarakat Samin menganggap bahwa agama adalah universal, semua ajaran yang
diberikan oleh tiap agama adalah baik maka tidak boleh menjelek-jelekkan suatu agama dan
mendiskriminasi suatu agama. Hubungan masyarakat Samin dengan sesama manusia dijaga
kerukunannya. Masyarakat Samin menganggap bahwa tetangga atau orang lain merupakan
saudara. Sedangkan hubungan dengan alam semesta, masyarakat Samin tidak merusak alam.
Ketiga subjek dalam melaksanakan kegiatan keagamaan yang dilakukan berbeda dengan ajaran
Islam pada umumnya, karena masih mempertahankan ajaran yang sudah turun temurun dari tokoh terdahulu.
Masyarakat Samin memiliki keyakinan bahwa ada saudara yang lahir dihari yang sama
dan dijam yang sama, yang dimaksud adalah kakang, kawah, adi, ari-ari (cairan yang pecah
mengawali lahirnya seorang bayi) yang mengarahkan dan memberi keselamatan. Masyarakat
Samin juga mempercayai adanya makhluk gaib serta ritual keagamaan dan upacara tertentu yang
menjadi pemersatu diantara mereka. Salah satu upacara yang mereka lakukan adalah membuat
bubur merah putih yang mereka tujukan kepada makhluk gaib yang menjaga dirinya.
Masyarakat Samin tidak memiliki kitab atau buku yang dijadikan pedoman dalam hidup tetapi
meyakini bahwa dirinya sendiri yang dapat memberi arah dan tujuan hidup. Seperti yang
dijelaskan oleh MO, setiap orang memiliki “guru” yang dapat memberi pengarahan, petunjuk, dan
nasihat. Ajaran-ajaran diturunkan melalui tradisi lisan yang turun temurun, tidak berpegang pada
kitab suci tertulis.
Self merupakan pusat dari kepribadian yang terus menerus diperjuangkan sehingga memotivasi
tingkah laku manusia terutama melalui cara-cara yang disediakan oleh agama. Hal tersebut yang
pada akhirnya akan mengarah kepada pengalaman pribadi yang bersifat transendental atau
spiritualitas. Ketiga subjek merasakan bahwa jika melakukan aktivitas keagamaan seperti shalat,
semedi, dan puasa segala keinginannya dapat terwujud. Subjek MO selalu melakukan semedi pada
tengah malam pukul 24.00 agar dapat bertemu dengan sejatinya guru yang ada dalam dirinya untuk
mendapat mengarahan atau petunjuk. Petunjuk yang diberikan terkadang bisa melalui mimpi atau
suara namun tidak berwujud untuk memberi tahu apa yang akan terjadi.
Ketiga subjek berpendapat bahwa orang yang sudah meninggal akan salin sandhangan. Makna
dari salin sandhangan yaitu meninggalkan apa yang telah dilakukan di dunia dan kembali hidup
dengan wujud lain sesuai dengan apa yang telah dilakukan semasa hidup. Dalam konsep hidup
masyarakat Samin memaknai bahwa roh atau arwah orang yang telah meninggal akan “menitis”
ke dalam bayi yang akan dilahirkan kembali. Makna kematian bagi masyarakat samin yaitu
merupakan manifes diri manusia selama hidupnya, apabila selama di dunia berperilaku baik akan
kembali menjadi manusia. Demikian juga sebaliknya apabila di dunia hidupnya menyimpang dan
melakukan perbuatan yang tidak baik, maka ketika sudah meninggal dunia tidak bisa hidup lagi
bersama manusia tetapi akan menempel pada batu besar atau di pohon yang nantinya akan
mengganggu orang lain. Subjek MI percaya bahwa orang yang sudah meninggal akan masuk ke
surga. Pandangan spiritual yang dieksplorasi oleh aliran transpersonal ini memang terlihat serupa
dengan pandangan Islam mengenai manusia yang memiliki unsur ruh atau spiritual disamping raga
dan jiwanya (Gumiandari, 2012).
Pengalaman berhadapan dengan kematian merupakan salah satu bentuk pengalaman religius.
Pengalaman religius yang lebih umum berupa pengalaman kekaguman dan sukacita serta
pengalaman puncak, yang semuanya bermakna spiritual (Jaenudin, 2012). Menurut Maslow,
pengalaman spiritual adalah peak experience. Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang
dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya sebagai makhluk
spiritual. Pengalaman puncak merupakan momen singkat saat orang mengalami keriangan yang
luar biasa, takjub, menghargai, atau terhubung dengan realitas spiritual yang besar. Seperti yang
dijelaskan oleh subjek MO, MO dapat merasakan terhubung yang besar dengan Tuhan. Ketika
masyarakat Samin sudah melaksanakan ajaran-ajaran yang dianjurkan maka dapat dengan mudah
bertemu dengan Tuhan. Kehadiran Tuhan dapat memberi petunjuk sesuai dengan warna yang
terlihat. Apabila berwarna putih maka akan mendapat kasih sayang, apabila berwarna merah maka
akan mendapat kekuatan, apabila kuning maka akan mendapat kedamaian, dan apabila yang datang berwarna hitam maka akan mendapat nasihat. Ajaran Samin yang dilakukan dengan baik
dipercaya dapat memberi pengarahan sehingga oleh masyarakat dapat digunakan untuk proses
pencarian makna dan dijadikan sebagai pedoman hidup sebagai usaha mencapai penyatuan antara
hamba dengan Tuhannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menemukan bahwa penganut ajaran Samin
menemukan makna hidupnya melalui ajaran-ajaran Samin dimana ajaran tersebut mereka yakini
dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidup. Samin memberikan esensi spiritualitas dengan
keterhubungan, yaitu keterhubungan diri dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam
semesta. Masyarakat Samin percaya bahwa Tuhan selalu mewujudkan apa yang diinginkan
melalui kegiatan keagamaan yang telah dilakukan. Kegiatan keagamaan seperti melakukan semedi
dilakukan sebagai upaya menemukan saudara yang lahir dihari yang sama dan di jam yang sama
agar hidupnya selalu diberi keselamatan dan petunjuk. Mereka juga meyakini adanya Tuhan yang
berwujud yaitu orang tua karena orang tualah yang pertama kali mengajarkan kita apa saja untuk
menjalani kehidupan. Masyarakat Samin juga meyakini adanya kematian yang dipandang sebagai
salin sandhangan yang nantinya masih ada kehidupan setelah meninggal. Kehidupan setelah
meninggal akan terwujud sebagaimana tingkah lakunya selama masih hidup. Apabila tingkah
lakunya baik maka bagaikan bayi baru lahir yang nantinya akan masuk surga, sedangkan apabila
tingkah lakunya buruk maka akan berwujud roh yang nantinya akan mengganggu manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Y., & Lesmawati, D. R. (2016). Religiusitas dan spiritualitas: konsep yang sama atau
berbeda?. Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi, 2(2), 67–73.
Aziz, M. (2012). Identitas kaum Samin pasca kolonia pergulatan negara, agama, dan adat dalam
pro-kontra pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Jurnal Kawistara,
2(3), 225-328.
Creswell, John W. (2015). Penelitian kualitatif & desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dwidiyanti, Meidiana, (2009). Keperawatan dasar. konsep ”caring”, komunikasi, etik dan aspek
spiritual dalam pelayanan keperawatan. Semarang: Hasani
Dirgantara, Yuana Agus. (2012). Pelangi bahasa sastra dan budaya Indonesia.
Yogyakarta: Garudhawaca Digital Book and POD. Di unduh dari
https://books.google.co.id/books?id=IrAxPPQDGwC&pg=PA36&dq=analisis+data+kualit
atif+etnografi&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjYycrpxNAhWMnZQKHfPxB04Q6AEIRzA
G#v=onepage&q=analisis%20data%20kualitatif%20etnografi&f=false
Feist, Jess & Gregory J.F. (2014). Teori kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.
Feist, Jess., & Gregory J.F. (2014). Theories of personality. Ed.8.
Singapore : McGraw-Hill.
Fridayanti. (2015). Religiusitas, spritualitas dalam kajian psikologi dan urgensi perumusan
religiusitas Islam. Jurnal Ilmiah Psikologi Psympathic, 2(2), 199–208.