Rabu, 11 April 2012

KEHIDUPAN SPIRITUAL DALAM ISLAM

MAKNA SPIRITUALITAS PADA PENGANUT AJARAN SAMIN
Abstrak 
Masyarakat Samin merupakan masyarakat yang unik. Ajaran Samin awalnya merupakan gerakan moral yang kemudian berkembang menjadi gerakan kultural dan bahkan menggulirkan keyakinan tersendiri. Tujuan utama penelitian ini adalah memahami makna spiritualitas pada penganut ajaran Samin. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Pemilihan subjek menggunakan teknik snowball sampling yang berasal dari desa Klopodhuwur, Blora. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). IPA merupakan metode sistematis yang berfokus pada makna yang diperoleh subjek terhadap pengalamannya. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara. Peneliti menemukan bahwa proses pemaknaan subjek terhadap spiritualitas ajaran Samin terdiri dari : (1) Sejarah dan ajaran masyarakat Samin, (2) Wujud spiritualitas, (3) Penghayatan spritualitas. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa penganut ajaran Samin masih melaksanakan aktivitas sesuai keyakinan yang diturunkan secara turun temurun karena setiap aktivitas tersebut memiliki makna yang dapat memberi petunjuk dan mengarahkan mereka untuk selalu berbuat kebaikan dan menjaga kerukunan selama hidup. Kata kunci: Spiritualitas; Ajaran Samin;

PENDAHULUAN 
Indonesia adalah suatu negara yang terdiri dari ribuan pulau dan memiliki keanekaragaman budaya yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Namun keberagaman itu tetaplah menjadi satu yaitu Bhineka Tunggal Ika. Kebudayaan merupakan serangkaian model kognitif yang dimiliki oleh manusia dan digunakan dalam menghadapi lingkungan yang terwujud dalam tingkah laku dan tindakan dalam kehidupan bermasyarakat. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, arus globalisasi menyebar kesegala penjuru dunia memberikan banyak dampak. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya yaitu pada kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dimanfaatkan, sedangkan dampak negatif yang mempengaruhi seperti hilangnya budaya asli suatu daerah, terjadinya erosi nilai-nilai budaya, menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme, hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong, kehilangan kepercayaan diri, dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan aspek kehidupan bangsa Indonesia. Persoalan lain yang tak terelakkan dari dampak globalisasi yaitu pada masalah eksistensi kebudayaan daerah, salah satunya adalah terjadinya penurunan rasa cinta terhadap kebudayaan yang merupakan jati diri suatu bangsa, erosi nilai-nilai budaya, dan terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya berkembang menjadi budaya massa. Indonesia memiliki beberapa budaya yang masih kuat akan eksistensinya dan masih dilestarikan, salah satunya adalah budaya pada masyarakat Samin. Perubahan akibat globalisasi belum terlihat pada masyarakat Samin secara keseluruhan. Samin atau Wong Samin adalah satu kelompok orang Jawa yang menganut suatu pandangan hidup (world view) yang mengandung suatu sistem nilai tertentu (Melalatoa, 1995). Secara historis, masyarakat Samin muncul setelah adanya seorang keturunan bangsawan dari Bojonegoro yang bernama Raden Kohar yang mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko. Namanya diubah menjadi “Samin” karena dianggap nama tersebut lebih bernafaskan kerakyatan. Samin, Saminisme, dan masyarakat Samin adalah fenomena yang unik, antara lain: Saminisme pertama kali muncul sebagai aksi moral yang dilakukan oleh Ki Samin Surosentiko dalam melawan pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian pada tahun 1905, Ki Samin mulai mengajak warga untuk mengikuti beberapa prinsipnya seperti menolak memberikan sumbangan untuk lumbung desa yang dikelola oleh pemerintah kolonial, menolak menggembala ternak bersama-sama, dan menolak membayar pajak (Aziz, 2012). Ciri utama gerakan Samin adalah perlawanan tanpa kekerasan dan penggunaan logika dan rethorika nggendeng atau purapura gila atau aneh dalam setiap perlawanan. Pengikut Samin yang tersebar dari gerakan moral kemudian berkembang menjadi gerakan kulturual dan bahkan tak dapat dipungkiri Samin telah berhasil menggulirkan ideologi baru yang khas Samin yakni Saminisme atau bahkan “agama” baru yang mereka namakan Agama Adam (Abdul Wahib, 2012). Agama yang dianut oleh masyarakat Samin merupakan agama bumi (natural religion) yang lahir dari filsafat masyarakat yaitu berasal dari pemimpin. Pengikut Samin menganggap agama Adam yang membedakannya dengan (kelompok) Islam, Budha, dan lainnya dan menganggap agama Adam sebagai lorong menuju spiritualitas agama iku gaman, gaman lanang, adam pangucape (Agama itu sebagai pegangan hidup, namanya agama adam yang bisa menjadi senjata dalam kehidupan) (dalam Ismail, 2016). Spiritualitas didefinisikan sebagai proses pencarian makna, tujuan, moralitas, kesejahteraan dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan realitas yang hakiki (Amir & Lesmawati, 2016). Dalam ajaran agama Adam disyariatkan ibadah dalam bentuk doa (semedi) dan puasa.

Seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Samin yang memiliki berbagai macam keunikan ternyata juga mengalami perubahan dari beberapa sisi. Baik dan sisi agama, mata pencaharian, perkawinan dan sebagainya. Semua perubahan yang dialami tidak terlepas dari faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhinya. Faktor internal lebih disebabkan oleh adanya keinginan dari masyarakat Samin sendiri. Sementara faktor eksternal lebih banyak berupa pengaruh dari luar masyarakat Samin. Berdasarkan uraian diatas dijelaskan bahwa hingga saat ini masyarakat Samin masih memegang ajaran-ajaran yang dianggap penting sehingga harus tetap dipertahankan, meski dalam praktiknya mengalami perubahan. Praktik keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Samin pada dasarnya memiliki makna-makna tertentu sehingga peneliti ingin memperoleh gambaran mengenai makna spiritualitas pada penganut ajaran Samin. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi agar peneliti dapat peneliti dapat memahami berbagai pengalaman penganut ajaran Samin secara langsung yang dipandang dari sisi psikologi. 

METODE 
Pada penelitian ini, peneliti ingin memahami makna spiritualitas penganut ajaran Samin yang dipandang dari sisi psikologi. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subjek dalam penelitian ini berjumlah tiga orang yang diambil dengan teknik snowball sampling berdasarkan karakteristik khusus yang telah ditetapkan. Karakteristik subjek yang ditetapkan peneliti dalam penelitian ini meliputi: (1) Mengetahui dan memahami ajaran Samin, (2) Mengamalkan ajaran Samin, (3) Berdomisili di daerah Klopoduwur, Blora, (4) Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent. Pemilihan subjek dalam penelitian ini didasarkan pada ketersediaan di lapangan. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu metode dan prosedur yang sesuai dengan interpretative phenomenological analysis (IPA) untuk mengeksplorasi persepsi dari tiap subjek serta memaknai secara detail tentang makna dalam memaknai dunia personal dan sosial (Smith, 2009). 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

Untuk dapat memahami pokok makna subjek terkait dengan spiritualitas masyarakat Samin peneliti melakukan beberapa tahap analisis sesuai dengan prosedur IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). Peneliti berusaha menemukan tema-tema emergen untuk mendapatkan tema-tema induk dari ketiga subjek. Table 1. Table tema induk dan tema super-ordinat No Tema Induk Tema Super-ordinat 1 Sejarah dan ajaran masyarakat Samin Sejarah Samin Masyarakat Samin dan ajarannya 2 Wujud spiritualitas Aktivitas keagamaan Hubungan dengan lingkungan Pandangan mengenai perbedaan Hubungan dengan Tuhan 3 Penghayatan spiritualitas

 Makna melaksanakan aktivitas keagamaan Pengalaman spiritualitas Kepercayaan subjek Penelitian ini berfokus pada tiga tema induk yaitu (1) sejarah dan ajaran masyarakat Samin, (2) wujud spiritualitas, dan (3) penghayatan spiritualitas yang akan dibahas menggunakan teori psikologi yang disertai dengan hasil wawancara. Sejarah dan ajaran masyarakat samin: Sejarah asal-usul disebutnya Samin yaitu ketika penjajahan Belanda masyarakat mengatakan “oiya sami-sami” sedangkan Belanda menirukannya “oiya samin-samin”, yang kemudian dipersingkat menjadi Samin sehingga pengikutnya disebutlah masyarakat Samin. Tokoh Samin adalah Samin Surasentiko yang lahir di Plesendiran, Randublatung. Samin Surasentiko menyebarkan ajarannya pertama kali di daerah Klopodhuwur, Blora. Ciri utama gerakan Samin dalam menolak penjajahan adalah perlawanan tanpa menggunakan senjata. Perlawanan tersebut muncul atas dasar perasaan tidak puas dalam diri masyarakat Samin pada khususnya Samin Surasentiko yang membebankan penduduk untuk membayar pajak, menyerahkan hasil pertanian. Namun jika masyarakat Samin melawan menggunakan senjata tidaklah berhasil karena Belanda memiliki senjata lebih canggih, sehingga masyarakat Samin melawan menggunakan permainan bahasa. Ajaran Samin merupakan ajaran yang apa adanya. Pada dasarnya ajaran tersebut yaitu berupa pantangan untuk tidak drengki (iri), srei (serakah), panasten (mudah tersinggung atau membenci sesama) kepada orang siapa saja, yang menjadi kepentingan utama ajaran samin yaitu kerukunan. Pantangan untuk tidak drengki (iri) dicontohkan oleh subjek MT seperti tidak menghiraukan dan memiliki keinginan memiliki apa yang dimiliki orang lain karena rejeki sudah diatur oleh Tuhan dan dalam porsinya masing-masing. Pantangan yang kedua yaitu untuk tidak srei (serakah), maksud ajaran ini seperti tidak boleh mengaku memiliki barang orang lain atau yang bukan miliknya. Sedangkan panasten (mudah tersinggung atau membenci sesama) dicontohkan seperti tidak boleh menghiraukan perkataan orang lain atau membicarakan orang lain, karena bukan urusannya. Semua hal yang menjadi pantangan dalam masyarakat Samin ditujukan agar terciptanya kerukunan antar sesama. Pengaruh globalisasi yang masuk ke Indonesia memberikan beberapa dampak pada ajaran tradisional asli Indonesia. Dampak terhadap ajaran Samin terlihat pada pendidikan, praktik keagamaan, dan juga dalam menghadapi kematian. Pada zaman penjajahan Belanda, masyarakat Samin tidak diperbolehkan sekolah karena jika bersekolah maka kelak setelah lulus kemungkinan bisa menjadi pengikut Belanda. Sehingga pantang bagi masyarakat Samin untuk bersekolah dan mengikuti aturan Belanda. Masyarakat Samin memiliki keyakinan bahwa yang boleh menguasai diri sendiri adalah “guru” yang ada dalam diri sendiri, bukan Belanda. Guru yang ada dalam diri sendiri yaitu saudara yang lahir di hari yang sama dan di jam yang sama yang sebenarnya mengajarkan dan memberi pengarahan dalam hidup. Setelah masa penjajahan berakhir dan kekuasaan berada di tangan Indonesia, anak-anak masyarakat Samin mulai bersekolah karena tidak melanggar aturan negara merupakan salah satu pedoman hidup masyarakat Samin. Ajaran lain yang mulai berubah yaitu mengenai agama yang di anut. Seperti yang dijelaskan MO pada awalnya masyarakat Samin menganut agama Budha. Menurut sejarah yang dipercaya kata Budha berasal dari kata udo (tidak memakai baju). Makna dari kata udo (tidak memakai baju) yaitu apabila orang tua udo (tidak memakai baju) maka akan lahir diri ini. Masyarakat Samin menyatakan awalnya beragama Budha sebagai tanda memaknai kelahiran. Masyarakat Samin meyakini bahwa orang tua adalah Tuhan yang berwujud karena orangtualah yang melahirkan dan orang pertama yang mengajarkan apa saja untuk hidup di dunia. 

Setelah merdeka masyarakat Samin menerima Islam sebagai agamanya karena perintah dari pemerintah. Aturan tersebut untuk memperjelas status agamanya dan menghindari anggapan bahwa masyarakat Samin merupakan anggota dari PKI. Keadaan itulah yang mengakibatkan seluruh masyarakat Samin mengaku menganut agama Islam. Berbagai macam kegiatan keagamaan menurut ajaran agama Islam. Kegiatan tersebut antara lain : pengajian bagi ibu-ibu, kegiatan mengaji bagi anak-anak dan kegiatan tersebut ditunjang adanya mushola yang berdiri di tengah pemukiman masyarakat Samin. Namun, sebagian masyarakat Samin tidak mengikuti kegiatan keagamaan menurut tata cara agama Islam pada umumnya. Terjadi perbedaan praktik keagamaan antara laki-laki dan perempuan. Subjek MO dan MT masih melaksanakan kegiatan keagamaan sesuai yang diajarkan tokoh terdahulu yaitu shalat sebanyak tiga kali yang dilakukan pada pagi hari pukul 06.00 terbitnya matahari, siang hari pukul 12.00, dan malam pukul 18.00 saat terbenamnya matahari. Arah shalat yang dilakukan masyarakat Samin yaitu ke timur. Pagi hari saat terbit matahari dapat memberikan petunjuk hari apa saat ini. Mereka juga melakukan semedi yang dilaksanakan pada tengah malam pukul 24.00 untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Pergeseran tradisi juga terjadi terkait dengan adanya kematian, masyarakat Samin memahami konsep kematian dengan istilah salin sandhangan. MI menjelaskan pada saat ini mereka sudah mengikuti ajaran tradisi Islam seperti menyolati orang meninggal dan datang ke rumah orang meninggal dengan membawa beberapa bahan makanan sebagai ungkapan bela sungkawa. Salin sandhangan merupakan istilah dari meninggal. Subjek MO menjelaskan bahwa orang yang salin sandhangan memiliki makna setelah meninggal rohnya akan dititipkan pada bayi yang baru lahir. Jadi, roh tersebut tidak mati, tetapi berkumpul dengan roh yang masih hidup. Maka ajaran Samin memerintahkan agar selalu berbuat baik selama hidup, agar selamanya akan menjadi orang baik. Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat Samin menganggap bahwa semua manusia adalah saudara. Pokok-pokok ajaran Samin antara lain: tidak menjelek-jelekkan orang lain, ikut campur dalam urusan orang lain, tidak mengambil milik orang lain, dan membicarakan orang lain. Hal utama yang menjadi tujuan dari hidup dalam ajaran Samin adalah menjaga kerukunan. Ajaran Samin tersebut merupakan pedoman bersikap dan bertingkah laku. 

Wujud spiritualitas: Wujud spiritualitas pada setiap individu dapat dilihat melalui kegiatan keagamaan yang dilakukan subjek dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas keagamaan ini menunjukkan kepatuhan subjek yang termuat dalam ajaran agamanya. Aktivitas tersebut seperti melakukan shalat, belajar mengaji, dan berpuasa. Suatu hal yang berbeda pada MO dan MT. Walaupun mengaku sudah menganut agama Islam, namun mereka masih melaksanakan aktivitas keagamaan yang diturunkan secara turun temurun. Aktivitas keagamaan tersebut seperti berpuasa dan shalat. Masyarakat Samin melakukan puasa ngrowot dan deder. Puasa ngrowot yaitu puasa yang tidak memakan nasi tetapi hanya makan buahbuahan, ubi-ubian. Hal ini dilakukan sebagai penebus dan wujud bakti kepada ibu ketika mengandung selama 9 bulan 10 hari dan melahirkan. Sedangkan puasa deder yaitu puasa semalaman tidak duduk yang dilakukan sebanyak tujuh kali pada hari Selasa dan tujuh kali pada hari Jumat dengan maksud menebus laku (perjalanan spiritual) dan wujud bakti kita kepada orang tua.

 Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosial-spiritual. Sebagai makhluk biologis yang terdiri dari selsel yang membentuk organ-organ, ia akan berkembang menjadi makhluk organismik yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Sebagai makhluk spiritual, manusia tidak hanya berhubungan dengan orang lain dalam system masyarakat atau dunia, tetapi juga berhubungan dengan sang pencipta. Salah satu upaya untuk mendapatkan keseimbangan dalam menjalani kehidupan adalah melakukan shalat atau samadhi (Jaenudin, 2012). Sebagai makhluk biologi, manusia dibedakan menjadi dua yaitu yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk psikologi, manusia memiliki jiwa yang tidak nampak tetapi dapat dilihat melalui keadaan-keadaan yang dapat dipandang sebagai gejala-gejala kehidupan kejiwaan, misalnya orang yang diam kemudian pergi, bisa diartikan sebagai marah. Masyarakat Samin mengajarkan untuk berbuat sabar, sehingga apabila merasa marah seperti subjek MO maka lebih baik diam dan menenangkan diri meminta agar diberi kesabaran. Sedangkan sebagai makluk sosial, manusia memiliki motif untuk mengadakan hubungan dan hidup bersama orang lain. Upaya menjalin hubungan baik dengan lingkungan masyarakat dilakukan oleh ketiga subjek. Mereka menganggap bahwa semuanya adalah saudara. Subjek MO yang menjadi tokoh Samin yang di Klopodhuwur saat ini selalu membantu memberikan solusi dan menjadi penengah ketika terjadi suatu masalah. Bentuk spiritualitas yang lain yang dilakukan oleh ketiga subjek yaitu berusaha menjaga kerukunan dan tidak saling menyakiti sesuai ajaran Samin yang ada. Salah satu karateristik seseorang yang telah mencapai aktualisasi diri adalah memiliki hubungan interpersonal yang kuat, mereka mempunyai kecenderungan untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (Jess & Gregory, 2014). 

Penghayatan spiritualitas: Pengalaman-pengalaman melakukan kegiatan keagamaan yang dilakukan berkaitan dengan persepsi-persepsi dan perasaan-perasaan yang dialami oleh ketiga subjek. Esensi spiritualitas adalah keterhubungan, yaitu keterhubungan diri dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan alam semesta. Pengalaman spiritual yaitu hal yang dialami seseorang dalam benak pemikirannya yang terjadi di bawah alam sadarnya atas jauh dari kenyataan sebenarnya. Hal tersebut sebagi tanda bahwa orang tersebut telah berhalusinasi dengan sempurna sehingga Sang Pencipta membuat dirinya melakukan pertemuan spiritualnya (Jaenudin, 2012). Setiap manusia yang hidup di dunia pasti mempunyai tujuan hidup. Jika seseorang telah mengetahui apa yang menjadi tujuan hidupnya, maka akan lebih mudah dalam memaknai hidup, sehingga setiap perbuatan, perilaku dan ucapannya mencerminkan bagaimana pemaknaannya terhadap tujuan hidup yang dipilihnya (Jalaluddin, 2016). Ketiga subjek menemukan makna hidupnya melalui ajaran Samin yang menjadikan ajaran Samin sebagai pedoman dalam hidup. Ajaran Samin memberikan esensi spiritualitas dengan keterhubungan, yaitu keterhubungan diri dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan alam semesta. Masyarakat Samin percaya bahwa Tuhan selalu mewujudkan apa yang diinginkan melalui kegiatan keagamaan yang telah dilakukan. Terbukti adanya pengalaman pada subjek yang mendapatkan keselamatan, kelancaran rejeki, dan keinginan pribadi lainnya. Ajaran Samin menegaskan bahwa agama yaitu ageman, maksudnya adalah agama menjadi pegangan hidup yang tercermin dalam prinsip ajaran dan pandangan (Ismail, 2012). Masyarakat Samin menganggap bahwa agama adalah universal, semua ajaran yang diberikan oleh tiap agama adalah baik maka tidak boleh menjelek-jelekkan suatu agama dan mendiskriminasi suatu agama. Hubungan masyarakat Samin dengan sesama manusia dijaga kerukunannya. Masyarakat Samin menganggap bahwa tetangga atau orang lain merupakan saudara. Sedangkan hubungan dengan alam semesta, masyarakat Samin tidak merusak alam. Ketiga subjek dalam melaksanakan kegiatan keagamaan yang dilakukan berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya, karena masih mempertahankan ajaran yang sudah turun temurun dari tokoh terdahulu.

Masyarakat Samin memiliki keyakinan bahwa ada saudara yang lahir dihari yang sama dan dijam yang sama, yang dimaksud adalah kakang, kawah, adi, ari-ari (cairan yang pecah mengawali lahirnya seorang bayi) yang mengarahkan dan memberi keselamatan. Masyarakat Samin juga mempercayai adanya makhluk gaib serta ritual keagamaan dan upacara tertentu yang menjadi pemersatu diantara mereka. Salah satu upacara yang mereka lakukan adalah membuat bubur merah putih yang mereka tujukan kepada makhluk gaib yang menjaga dirinya. Masyarakat Samin tidak memiliki kitab atau buku yang dijadikan pedoman dalam hidup tetapi meyakini bahwa dirinya sendiri yang dapat memberi arah dan tujuan hidup. Seperti yang dijelaskan oleh MO, setiap orang memiliki “guru” yang dapat memberi pengarahan, petunjuk, dan nasihat. Ajaran-ajaran diturunkan melalui tradisi lisan yang turun temurun, tidak berpegang pada kitab suci tertulis. Self merupakan pusat dari kepribadian yang terus menerus diperjuangkan sehingga memotivasi tingkah laku manusia terutama melalui cara-cara yang disediakan oleh agama. Hal tersebut yang pada akhirnya akan mengarah kepada pengalaman pribadi yang bersifat transendental atau spiritualitas. Ketiga subjek merasakan bahwa jika melakukan aktivitas keagamaan seperti shalat, semedi, dan puasa segala keinginannya dapat terwujud. Subjek MO selalu melakukan semedi pada tengah malam pukul 24.00 agar dapat bertemu dengan sejatinya guru yang ada dalam dirinya untuk mendapat mengarahan atau petunjuk. Petunjuk yang diberikan terkadang bisa melalui mimpi atau suara namun tidak berwujud untuk memberi tahu apa yang akan terjadi. Ketiga subjek berpendapat bahwa orang yang sudah meninggal akan salin sandhangan. Makna dari salin sandhangan yaitu meninggalkan apa yang telah dilakukan di dunia dan kembali hidup dengan wujud lain sesuai dengan apa yang telah dilakukan semasa hidup. Dalam konsep hidup masyarakat Samin memaknai bahwa roh atau arwah orang yang telah meninggal akan “menitis” ke dalam bayi yang akan dilahirkan kembali. Makna kematian bagi masyarakat samin yaitu merupakan manifes diri manusia selama hidupnya, apabila selama di dunia berperilaku baik akan kembali menjadi manusia. Demikian juga sebaliknya apabila di dunia hidupnya menyimpang dan melakukan perbuatan yang tidak baik, maka ketika sudah meninggal dunia tidak bisa hidup lagi bersama manusia tetapi akan menempel pada batu besar atau di pohon yang nantinya akan mengganggu orang lain. Subjek MI percaya bahwa orang yang sudah meninggal akan masuk ke surga. Pandangan spiritual yang dieksplorasi oleh aliran transpersonal ini memang terlihat serupa dengan pandangan Islam mengenai manusia yang memiliki unsur ruh atau spiritual disamping raga dan jiwanya (Gumiandari, 2012). Pengalaman berhadapan dengan kematian merupakan salah satu bentuk pengalaman religius. Pengalaman religius yang lebih umum berupa pengalaman kekaguman dan sukacita serta pengalaman puncak, yang semuanya bermakna spiritual (Jaenudin, 2012). Menurut Maslow, pengalaman spiritual adalah peak experience. Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya sebagai makhluk spiritual. Pengalaman puncak merupakan momen singkat saat orang mengalami keriangan yang luar biasa, takjub, menghargai, atau terhubung dengan realitas spiritual yang besar. Seperti yang dijelaskan oleh subjek MO, MO dapat merasakan terhubung yang besar dengan Tuhan. Ketika masyarakat Samin sudah melaksanakan ajaran-ajaran yang dianjurkan maka dapat dengan mudah bertemu dengan Tuhan. Kehadiran Tuhan dapat memberi petunjuk sesuai dengan warna yang terlihat. Apabila berwarna putih maka akan mendapat kasih sayang, apabila berwarna merah maka akan mendapat kekuatan, apabila kuning maka akan mendapat kedamaian, dan apabila yang datang berwarna hitam maka akan mendapat nasihat. Ajaran Samin yang dilakukan dengan baik dipercaya dapat memberi pengarahan sehingga oleh masyarakat dapat digunakan untuk proses pencarian makna dan dijadikan sebagai pedoman hidup sebagai usaha mencapai penyatuan antara hamba dengan Tuhannya. 

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menemukan bahwa penganut ajaran Samin menemukan makna hidupnya melalui ajaran-ajaran Samin dimana ajaran tersebut mereka yakini dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidup. Samin memberikan esensi spiritualitas dengan keterhubungan, yaitu keterhubungan diri dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta. Masyarakat Samin percaya bahwa Tuhan selalu mewujudkan apa yang diinginkan melalui kegiatan keagamaan yang telah dilakukan. Kegiatan keagamaan seperti melakukan semedi dilakukan sebagai upaya menemukan saudara yang lahir dihari yang sama dan di jam yang sama agar hidupnya selalu diberi keselamatan dan petunjuk. Mereka juga meyakini adanya Tuhan yang berwujud yaitu orang tua karena orang tualah yang pertama kali mengajarkan kita apa saja untuk menjalani kehidupan. Masyarakat Samin juga meyakini adanya kematian yang dipandang sebagai salin sandhangan yang nantinya masih ada kehidupan setelah meninggal. Kehidupan setelah meninggal akan terwujud sebagaimana tingkah lakunya selama masih hidup. Apabila tingkah lakunya baik maka bagaikan bayi baru lahir yang nantinya akan masuk surga, sedangkan apabila tingkah lakunya buruk maka akan berwujud roh yang nantinya akan mengganggu manusia. 

DAFTAR PUSTAKA 
Amir, Y., & Lesmawati, D. R. (2016). Religiusitas dan spiritualitas: konsep yang sama atau berbeda?. Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi, 2(2), 67–73. Aziz, M. (2012). Identitas kaum Samin pasca kolonia pergulatan negara, agama, dan adat dalam pro-kontra pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Jurnal Kawistara, 2(3), 225-328. Creswell, John W. (2015). Penelitian kualitatif & desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dwidiyanti, Meidiana, (2009). Keperawatan dasar. konsep ”caring”, komunikasi, etik dan aspek spiritual dalam pelayanan keperawatan. Semarang: Hasani Dirgantara, Yuana Agus. (2012). Pelangi bahasa sastra dan budaya Indonesia. Yogyakarta: Garudhawaca Digital Book and POD. Di unduh dari https://books.google.co.id/books?id=IrAxPPQDGwC&pg=PA36&dq=analisis+data+kualit atif+etnografi&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjYycrpxNAhWMnZQKHfPxB04Q6AEIRzA G#v=onepage&q=analisis%20data%20kualitatif%20etnografi&f=false Feist, Jess & Gregory J.F. (2014). Teori kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika. Feist, Jess., & Gregory J.F. (2014). Theories of personality. Ed.8. Singapore : McGraw-Hill. Fridayanti. (2015). Religiusitas, spritualitas dalam kajian psikologi dan urgensi perumusan religiusitas Islam. Jurnal Ilmiah Psikologi Psympathic, 2(2), 199–208.